Tak bisa dipungkiri, selama dua tahun terakhir, ekspor nasional mencapai kinerja gemilang: mencetak sejarah tumbuhan tertinggi (US$ 27,91 miliar di Agustus 2022). Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan pencapaian ekspor Indonesia sepanjang 2022 mencapai US$ 291,98 miliar, me ningkat 26,07% dari 2021 serta le- bih tinggi 78,92% dibanding 2020.
Namun sayang, pencapaian ini masih minim kontribusi dari pro- duk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Sebagai pilar penting perekonomian terbesar, hanya menyumbang 15% dari total nilai ekspor nasional. Pada tingkat ASEAN, jumlah ini masih rendah dibandingkan beberapa negara lainnya, seperti Singapura 41% dan Thailand 29%
Pemerintah dan stakeholder terkait telah melakukan upaya untuk mendorong UMKM go global. Antara lain menggencarkan pelatihan dan pendampingan ekspor, kemudahan akses pembiaya- an dan pemanfaatan teknologi di gital melalui e-commerce dan media sosial.
Upaya ini, dirasa masih belum cukup, ada upaya lain yang harus dilakukan. Pertama, peningkatan kepercayaan diri pelaku UMKM. Bisa dikatakan, lemah eksekusi walaupun sudah siap ekspor.
Pelaku masih belum meyakini, apakah produknya memenuhi standar kualitas di negara tujuan. Selain itu, minimnya informasi pasar luar negeri dan buyer juga menambah kekhawatiran pelaku UMKM untuk melakukan ekspor. Kedua, penguatan keamanan transaksi ekspor. Rendahnya pengetahuan membuat UMKM tidak meminta importir menggunakan metode pembayaran dalam mencegah penipuan, seperti letter of credit (LC) dan juga inisiasi menggunakan asuransi ekspor.
Selama ini, yang menjadi keamanan hanya pengunaan asuran si untuk pengiriman barang saja. Itu pun karena diwajibkan jika mengambil metode penawaran harga (incornterm) cost, insurance dan freight (CIF).
Ketiga, subsidi biaya ekspor UMKM. Sedikitnya ada sepuluh biaya yang harus disiapkan, tergantung sampai mana penawaran harga yang disepakati antara eksportir dan importir. Estimasi biaya yang dikeluarkan UMKM sampai 7%-10% dari harga produksi.
Pemerintah dirasa perlu memberikan bantuan biaya fasilitas ekspor bagi UMKM, khususnya pada ekspor perdana. Sebab, bagi para eksportir pemula, perolehan kontrak dagang yang pertama adalah sebuah prestasi karena sulitnya menembus akses buyer yang ada di luar negeri.
Perlindungan eksportir
Dua dari tiga catatan di atas bermuara pada perlindungan terhadap eksportir. Mitigasi risiko menjadi keharusan untuk menuju UMKM go global.
Menurut Survei konsultan Kroll bahwa 80% responden eksportir pernah mengalami tindakan penipuan. Bahkan, 32% responden mengalami kerugian tahunan lebih dari Rp 1 miliar. Sedangkan per November 2022, bea cukai menerima 6.958 laporan pengaduan. Mayoritas dari penipuan online shop dan diplomatik.
Oleh karena itu, pemberi pembiayaan ekspor juga penting untuk mendapatkan perlindungan. Salah satunya dengan program asuransi ekspor. Program ini akan melindungi eksportir dan pihak lender dari kemungkinan risiko kerugian akibat tidak diterimanya sebagian atau seluruh pelunasan pembayaran dari importir atau bank pembuka LC yang disebabkan oleh risiko komersial dan/ atau risiko politik. Ini dinilai lebih signifikan mendorong ekspor, khususnya bagi perusahaan kecil (Choi & Kim, 2021)
Sebenarnya, sejak 1985, pemerintah telah mendirikan PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) untuk melindungi eksportir non migas melalui Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1983. Selanjutnya, dengan tujuan penguatan dibentuk UU No 2 tahun 2009 tentang pendirian LPEI.
Faktanya, sampai saat ini hasilnya belum memuaskan. Setelah diamati, portofolio kedua lembaga dalam memberikan perlindungan eksportir UMKM masih jauh panggang dari api. ASEI dan LPEI dinilai mempunyai ketentuan dan persyaratan yang ketat dan hanya berkorelasi pada pembiayaan ekspor yang telah disetujui LPEI atau perbankan, sehingga banyak UMKM terseleksi.
Sementara itu, UMKM mengeluhkan tarif tarif premi yang mahal. Mereka sudah terbebani dengan biaya fasilitas ekspor, sehingga asuransi ekspor ini tidak menjadi prioritas. Diperlukan langkah konkrit guna mendongkrak program ini. Pertama, pemerintah perlu mewajibkan asuransi bagi seluruh eksportir. Khusus UMKM diberlakukan subsidi premi.
Alasan lain, karena ketidakpastian global. Perlu diwaspadai, pencapaian gemilang ekspor nasional tidak diikuti pertumbuhan secara bulanan. Dalam empat bu lan terakhir justru terkontraksi 17,1% menjadi US$ 23,83 miliar.
Ini terjadi karena perlambatan ekonomi yang dialami negara mitra, dan juga penurunan permintaan komoditi ekspor. Tren ini di perkirakan terus terjadi sepanjang tahun 2023.
Dampaknya akan memunculkan risiko komersial dan politik, di mana adanya pembatasan kuota impor serta pembatasan transfer, sehingga akan menggangu cash flow eksportir.
Kedua, kolaborasi lembaga asuransi ekspor negara. Setelah diwajibkan subsidi, dirasa kedua lembaga tersebut dapat memberikan kelonggaran persyaratan, termasuk besaran premi murni. Namun, tetap memperhatikan mitigasi risiko yang ada.
Skeptisme kedua lembaga juga harus jelas. Walaupun LPEI dilindungi UU, namun lebih logis fokus ke pembiayaan modal kerja dan jasa konsultasi. Sedangkan fungsi ASEI sebagai penjaminan dan asuransi. Paling tidak, keduanya dapat berkerjasama dalam bentuk koasuransi untuk memperbesar market share.
Saat ini, market share asuransi ekspor global dikuasai oleh Allianz Trade (36%), Atradius (31%) dan Coface (20%). Kolaborasi ini diharapkan juga mendongkrak market share di domestik dan kawasan ASEAN.
Ketiga, peningkatan literasi dan inklusi asuransi ekspor. Menurut Kemenkop UKM dan observasi Young Indonesia Insurance Profesional (YIIPS), dari 12.234 eksportir UMKM berbentuk perusahaan di tahun 2020, tidak lebih dari 10% yang mengikuti asuransi ekspor karena berbagai alasan.
Dapat disimpulkan, bahwa masih sedikit sekali UMKM yang mengetahui dan peduli terhadap keamanan transaksi keuangan pada penyelenggaraan ekspor. Ini selaras dengan perolehan tingkat literasi masyarakat terhadap asuransi masih sebesar 31.72% dan tingkat inklusi sebesar 16.63% (SNLIK-OJK, 2022).
Strategi pentahelix harus diusung untuk peningkatan literasi dan inklusi. Selama ini yang terli bat penuh hanya pemerintah, pelaku bisnis dan komunitas ekspor, diperlukan juga dari para akademisi dalam memperbanyak penelitian dan media untuk memberikan informasi serta sosialisasi.
Dengan berbagai upaya ini, tingkat kepercayaan pelaku UMKM akan kuat dan siap ekspansi global. Selain itu, tujuan pemerintah dalam meningkatkan peran UMKM dalam ekspor nasional hingga 21,6% di tahun 2024, bukan pepesan kosong jika di implementasikan dengan baik.
Sumber : Koran Kontan hari Senin, tanggal 13 Februari 2023