Gagasan Asuransi Emisi Karbon

Baru-baru ini Konferensi Iklim PBB (COP 28) di Dubai, berhasil mencapai kesepakatan “dana loss and damage” akibat perubahan iklim. Tujuannya mengompensasi dosa-dosa negara maju penghasil karbon ke negara berkembang dan miskin.

Peluang ini harus dimanfaatkan Indonesia untuk pendanaan aksi iklim yang masif. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh penghasil karbon terbanyak di dunia (Worldmeter, 2022) dan hanya mampu 34% dari APBN untuk mendanai atau sebesar Rp3.461 triliun (Thaird Biennial Report, 2021).

Hadirnya UU PPSK No. 4/2023 perihal Omnibus Law Keuangan dan POJK No.14/2023 mengenai perda gangan karbon melalui bursa karbon pada Agustus 2023, juga menjadi alternatif pendanaan. Potensi perdagangan karbon diproyeksi mencapai Rp8.000 triliun dalam 5 tahun ke depan.

Potensi ini didasari bahwa, Indonesia juga penyerap karbon terbesar yang mempunyai 3 juta hektare hutan mangrove yang tumbuh di sepanjang 95.000 km pantai Indonesia. Jumlah ini mewakili 23% dari seluruh ekosistem mangrove dunia (Giri et al., 2011).

Namun, sayangnya, sampai Desember 2023 transaksi masih di bawah Rp40 miliar karena industri karbon belum banyak dipahami oleh stakeholder. Para pelaku juga mengkhawatirkan risiko-risiko yang akan terjadi karena industri baru yang masih rentan.

DUKUNGAN ASURANSI

Sebenarnya, dukungan dari sektor jasa keuangan baik dalam pendanaan dan manajemen risiko sudah dihadirkan oleh regulator.

Di antaranya mengenai pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup melalui UU No. 32/2009 dan POJK No. 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) termasuk asuransi membuat rencana aksi keuangan berkelanjutan berdasarkan prioritas masing- masing LJK seperti pengembangan produk dan/atau jasa keuangan berkelanjutan termasuk peningkatan portofolio yang sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan.

Perusahaan asuransi selama ini juga penghasil emisi, yang berasal dari emisi tertanggung. Untuk menurunkannya, harus meningkatkan seleksi risiko hijau sehingga menjadi katalis.

Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak perlu disangsikan bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap mitigasi risiko, pasca dan transisi perubahan iklim.

Pada tahapan mitigasi risiko, perusahaan asuransi bertindak dalam meminimalisir risiko dan meningkatkan kepercayaan di pasar serta membantu menggerakkan pendanaan skala proyek penghilangan emisi.

Selanjutnya, pemulihan pascabencana. Beberapa jenis asuransi dapat memberikan ganti rugi. Yang paling sering adalah asuransi bencana terhadap harta benda dan jiwa yang dapat diperluas dengan jaminan gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, badai, banjir, dan tanah longsor.

Sedangkan pada tahap transisi, asuransi dapat memberikan insentif dan ganti rugi kegiatan yang menurunkan emisi termasuk perdagangan karbon.

Setidaknya, ada empat peranan asuransi. Pertama, memberikan assesmen dengan bobot besar bagi perusahaan yang aktivitasnya sudah berge rak ke energi terbarukan.

Seperti asuransi proyek dan aset untuk okupasi panel surya, tenaga angin, mini hydro dan biofuels. Termasuk juga asuransi kendaraan ber- motor bertenaga listrik dan tanaman bakau.

Kedua, memberikan insentif berupa diskon tarif apabila perusahaan sudah melaksanakan laporan berkelanjutan dan mempunyai unit karbon.

Unit karbon merupakan bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 ton karbondioksida yang tercatat dalam SRN di Indonesia atau di luar negeri melalui Verra, Gold Standar dan Plan Vivo yang diberikan perusahaan tertentu, untuk mengeluarkan emisi dalam batas yang telah ditentukan.

Apabila melewati batas maka wajib menambah unit atau izin apabila ingin terus beroperasi.

Ketiga, asuransi dapat memberikan ganti rugi atas kelebihan emisi (offset) yang dihasilkan oleh perusahaan yang aktivitasnya tidak dapat menyerap atau bahkan menghasilkan karbon (pembeli) karena hal tak terduga.

Ganti rugi diberikan dalam bentuk kredit karbon sukarela yang setara dengan kelebihan emisi yang dikeluarkan. Contohnya, kapal yang menyebabkan emisi tambahan karena penyimpangan jalur.

Keempat, menjamin risiko pengiriman kredit karbon bagi perusahaan yang tidak mengeluarkan emisi bahkan mampu menyerap karbon (penjual).

Contohnya, akibat pembatalan atau pengambilalihan izin ekspor yaitu negara tuan rumah memblokir kredit karbon untuk meninggalkan negaranya dan kurang terkirimnya, kehilangan atau kerusakan pada kredit karbon paska penerbitan kepada penjual.

Indonesia perlu mencontoh pengembangan asuransi emisi karbon di Eropa, Amerika dan Asia seperti AXA, AIG, Howden Global, Ping An dan Insurtech KITA.

Gagasan ini perlu didukung tidak hanya dari Pemerintah, namun seluruh stakeholder. Agar ekosistem terlindungi dan terjadi peningkatan transaksi perdagangan kar- bon sehingga tercapainya pengurangan emisi hingga 68% pada 2045.

 

Sumber : Gagasan Asuransi Emisi Karbon

Pengaturan Asuransi Kredit Bisnis Indonesia

Tiga tahun terakhir ini industri asuransi kredit global terkonsentrasi dan didominasi tiga Perusahaan pemain asuransi kredit global, di antaranya Allianz Trade, Atradius dan Coface, yang semuanya adalah perusahaan asuransi negara Eropa. Ketiga perusahaan itu juga beroperasi di Indonesia melalui kemitraan dengan perusahaan asuransi lokal.

Laporan IFG Progress menyatakan bahwa perkembangan asuransi kredit global tumbuh relatif cukup tinggi sepanjang 2017-2019, tetapi pada 2020 terkontraksi sebe sar -16% YoY akibat dampak pandemi Covid-19 seiring dengan meningkatnya risiko akibat dari ketidakpastian kondisi perekonomian yang kemudian berdampak pada semakin sulitnya perusahaan untuk membayar premi dalam mengasuransikan aktivitas kreditnya.

Kondisi tersebut juga menunjukkan bahwa asuransi kredit sebagai subsektor asuransi yang erat kaitannya dengan kondisi makroekonomi juga menjadi salah satu subsektor ekonomi yang terdampak pandemi.

Berbeda dengan karakteristik asuransi kredit global yang fokus kepada kredit produktif dan transaksi perdagangan, maka asuransi kredit yang berkembang di Indonesia terbagi menjadi dua.

Pertama, proteksi untuk kredit produktif yang diinisiasi oleh penugasan KUR dari pemerintah, seperti kredit modal kerja, kredit investasi dan lainnya, di mana periode kreditnya setahun atau jangka pendek.

Kedua, asuransi untuk kredit konsumtif yang banyak dikeluarkan oleh bank umum, bank daerah maupun  BPR untuk para debiturnya, di mana periode kreditnya jangka panjang hingga 15 tahun.

Kalau melihat data 10 tahun kinerja asuransi kredit di Indonesia, 5 tahun terakhir menunjukkan kontribusi premi yang cukup besar, dengan penetrasi yang tumbuh cukup massif, namun result bisnisnya terlihat mengalami tren penurunan.

Sebagai sektor yang berperan dalam mengelola dan memitigasi risiko di sektor keuangan, serta mayoritas kepemilikan saham di industri asuransi kredit merupakan lembaga jasa keuangan lainnya, maka sangat dibutuhkan dukungan kebijakan sektor keuangan serta kerangka regulasi yang solid guna meningkatkan pengawasan industri asuransi kredit.

Penyempurnaan ketentuan produk dan proses bisnis asuransi kredit perlu menjadi prioritas terkait multiple impact jika terjadi ketidak sanggupan bayar penanggung kepada tertanggung, yang dapat berimbas ke ekosistem perbankan dan pembiayaan.

Perusahaan asuransi perlu melakukan seleksi dan pengelolaan risiko agar dapat mengukur dan memilih risiko yang dapat ditanggung sesuai dengan risk appetitenya.

Nature dari Asuransi Kredit adalah pertanggungan yang menjamin risiko kerugian kreditur atas tidak terbayarkannya sisa pinjaman debitur berdasarkan perjanjian pemberian pinjaman dari kreditur ke debitur.

Untuk itu perusahaan asu- ransi harus memastikan telah memiliki informasi yang memadai mengenai objek pertanggungan; memastikan kredit yang diberikan telah sesuai prosedur dari kreditur; menetapkan periode asuransi, nilai pertanggungan, manfaat asuransi, retensi sendiri, dan DODY A S DALIMUNTHE Direktur Utama Asuransi Asei Indonesiadukungan reasuransi berdasarkan kemampuan perusahaan untuk menanggung risiko; dan membentuk cadangan teknis dengan menggunakan asumsi estimasi terbaik serta memperhitungkan risiko pemburukan.

Nilai pertanggungan asuransi kredit paling tinggi adalah sebesar outstanding kredit debitur. Periode asuransi adalah satu tahun dapat diperpanjang sampai dengan jatuh tempo kredit. Penetapan premi harus mempertimbangkan profil risiko dari masing-masing objek asuransi agar besaran premi sesuai dengan risiko pada objek asuransi tersebut.

Premi harus mempertim bangkan risiko, manfaat yang dijanjikan, ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif, serta didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktik asuransi yang berlaku umum.

Proses seleksi debitur yang akan mendapatkan pinjaman dilakukan sepenuhnya oleh pihak kreditur, dalam hal ini adalah bank yang menjadi tertanggung asuransi. Di sisi lain, pihak asuransi akannconcern pada faktor-faktor underwriting yang dapat berpengaruh kepada risiko ketidaksanggupan bayar dari debitur.

Untuk itu, dalam pertanggungan asuransi kredit perlu ada risk sharing agar tertanggung juga melakukan manajemen risiko pemberian pinjaman yang selektif dan terkontrol. Dengan beban risiko yang juga ditanggung oleh bank sebagai tertanggung. pertanggungan ini bisa dibilang bisa lebih termitigasi.

Besaran nilai risk sharing pihak kreditur atau bank sebagai tertanggung memang akan lebih kecil dibanding- kan porsi risiko penanggung. Nilai itu sifatnya negotiable sepanjang dapat mendorong pihak bank melakukan miti- gasi risiko untuk melakukan seleksi debitur.

Pengaturan proses bisnis dan tata kelola asuransi kredit, perlu menjadi prioritas bersama baik regulator industri asuransi maupun industri perbankan.

Ekosistem asuransi kredit mencakup sektor keuangan dan sektor riil, sehingga jika terjadi kondisi yang buruk di perusahaan asuransi yang berdampak pada ketidaksanggupan bayar asuransi akan berpotensi masalah sistemik di industri.

Semoga dengan kesamaan pandang dan kebersamaan semua pihak dapat mewujudkan ekosistem industri asuransi yang sehat, modern dan maju.

Sumber : Koran Bisnis Indonesia rubrik OPINI tanggal 18 September 2023

GRC dan Transformasi Industri Asuransi

Sistem GRC merupakan kerangka kerja yang digunakan perusahaan untuk mengelola dan mengendalikan aktivitas bisnis dengan cara teratur dan sesuai peraturan. Implementasinya melibatkan tiga aspek utama, tata kelola perusahaan (governance), manajemen risiko (risk management), dan manajemen kepatuhan (compliance management).

Aspek governance menetapkan bagaimana perusahaan dikelola dan diarahkan dengan melibatkan penetapan kebijakan, prosedur, dan struktur organisasi yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan perusahaan. Aspek risk management melibatkan identifikasi, evaluasi, dan mitigasi risiko untuk menghadapi risiko finansial yang beragam. Sedangkan aspek compliance melibatkan kepatuhan terhadap peraturan dan regulasi terkait keamanan finansial, perlindungan konsumen dan privasi data.

Industri perasuransian merupakan salah satu pilar utama ekonomi global. Dengan misi melindungi individu dan bisnis dari risiko finansial yang tak terduga, perusahaan asuransi memiliki tanggung jawab besar yang melekat pada layanan- nya. Di era modern yang kompleks dan terus berubah, pentingnya kerangka kerja GRC bukan hanya sekadar aturan dan peraturan yang mengikat, namun sebagai landasan kokoh untuk pertumbuhan dan kesinambungan industri. GRC memungkinkan perusahaan menilai dampak potensial dari risiko-risiko yang mengancam, dan merancang strategi mitigasi yang tepat untuk menciptakan peluang dan pertumbuhan.

Kepatuhan juga bukan dimak sudkan untuk memenuhi persyaratan hukum semata, namun bagaimana menjunjung tinggi integritas dan membangun ke percayaan di antara nasabah dan pemangku kepentingan. GRC mem bantu mencegah pelanggaran, memastikan transparansi dalam operasi, dan menciptakan pondasi yang kuat bagi reputasi yang tak ternilai.

Transformasi adalah keharusan bagi perusahaan asuransi agar unggul dan relevan di masa depan yang terus berubah. Perkembangan teknologi informasi memainkan peran sentral dalam transformasi di industri perasuransian, seperti analitik data, kecerdasan buatan, dan teknologi canggih lainnya yang membantu perusahaan mengelola risiko, mengoptimalkan proses klaim, dan meningkatkan pengalaman pelanggan.

GRC berperan dalam memastikan implementasi teknologi tetap mematuhi regulasi privasi dan keamanan data. Disinilah human capital sebagai jantung dalam organisasi, dengan memiliki tim yang terampil, berpengetahuan, serta berintegritas tinggi menjadi ke harusan di industri asuransi. GRC membangun budaya organisasi yang diperkuat nilai-nilai etika dan manajemen risiko melalui pelatihan/pembekalan karyawan agar patuh dan bertanggung jawab dalam mengelola risiko setiap aspek bisnis.

Dalam melakukan transformasi, beberapa hal penting yang harus diperhatikan perusahaan asuransi agar dapat mencapai keunggulan dimasa depan adalah visi dan strategi transformasi yang jelas, komitmen pemimpin, analisis mendalam tentang kebutuhan dan tantangan, kepuasan pelanggan, serta inovasi produk dan layanan. Selain itu, adopsi teknologi yang cerdas, manajemen risiko, pengembangan sumber daya manusia, serta kemitraan dan kolaborasi.

Untuk mendukung proses transformasi diperlukan fleksibilitas dan adaptabilitas yang sesuai perubahan kondisi pasar dan kebutuhan pelanggan, komunikasi yang efektif untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan dan meningkatkan dukungan terhadap transformasi, serta pengukuran dan evaluasi berkala rencana transformasi.

Contoh perusahaan asuransi global yang bertransformasi adalah Ping An Insurance Group, didirikan oleh Ma Mingzhe di Tiongkok tahun 1988 sebagai perusahaan asuransi tradisional untuk properti dan kecelakaan. Seiring berjalannya waktu, pada awal 2000an mereka melakukan transformasi dalam strategi bisnisnya dengan menjadikan teknologi sebagai fokus utama. Transformasi dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan tren industri, munculnya teknologi baru, dan peluang baru di dunia finansial. Pilar transformasi yang dilakukan adalah: inovasi produk dengan mengembangkan produk asuransi inovatif dan relevan perkembangan zaman, seperti asuransi kesehatan yang didukung teknologi medis dan analitik kesehatan, serta asuransi berbasis penggunaan yang disesuai kan dengan perilaku pengemudi.

Pilar kedua adalah teknologi dan data, dengan investasi signifikan pada kecerdasan buatan (AI), analitik data, teknologi biometrik, dan keamanan siber, yang memungkinkan efisiensi operasional, penilaian risiko yang lebih baik, dan peningkatan layanan pelanggan. Pilar ketiga: ekosistem keuangan yang terintegrasi dengan berbagai layanan termasuk asuransi, perbankan, investasi, dan teknologi finansial lainnya, yang memberikan solusi komprehensif bagi nasabah dalam pengelolaan keuangan.

Pilar keempat: pelayanan pelanggan digital dengan menghadirkan platform digital yang memudahkan pelanggan mengakses informasi, mengelola polis, mengajukan klaim, dan berinteraksi dengan perusahaan melalui aplikasi mobile.

Dengan menggunakan pendekatan GRC yang baik, Ping An Insurance Group dapat memitigasi risiko yang terkait transformasi, memastikan kepatuhan dengan regulasi yang berlaku, dan memastikan perusahaan beroperasi dengan tata kelola yang kuat. Hal ini mendukung perjalanan menjadi perusahaan teknologi finansial yang sukses dan terintegrasi. Kondisi Ping An Insurance tahun 2021 setelah transformasi menunjukkan portofolio layanan yang luas, produk asuransi yang inovatif, pelayanan pelanggan digitalized, teknologi yang unggul, ekspansi bisnis internasional, pengakuan industri, serta pertumbuhan keuangan.

Ada banyak contoh perusahaan maupun industri yang sukses menerapkan GRC dalam proses transformasi. Di sisi lain, ada banyak juga kegagalan dalam bertransformasi karena tidak mencapai skala efisiensi yang diharapkan sehingga berdampak kepada negative result dalam bisnis.

Penerapan GRC di industri asuransi di Indonesia, seperti di banyak negara lain, juga menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa tantangan utama yang perlu diatasi meliputi: pertama, perubahan regulasi yang cepat, di mana perusahaan asuransi harus terus memantau perubahannya dan mengadaptasi proses GRC sesuai peraturan baru. Kedua, kerumitan regulasi yang bisa sangat kompleks dan beragam, terutama ketika berhadapan dengan produk asuransi yang berbeda. Ketiga, data yang luas dan beragam, sehingga perusahaan asuransi perlu memastikan terjaga dengan aman sesuai peraturan dan dapat diakses dengan mudah.

Keempat, pengelolaan risiko yang efektif, termasuk risiko underwriting dan investasi. Kelima, kepatuhan terhadap anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan teroris, di mana asuransi sering menjadi sarana yang digunakan oleh pihak yang tidak sah untuk mencuci uang atau mendanai aktivitas teroris. Keenam, kekurangan SDM yang kompeten dalam jumlah dan kualitas pemahaman yang cukup tentang GRC.

Ketujuh, pengintegrasian sistem bagi perusahaan asuransi yang masih mengelola proses GRC secara manual atau menggunakan sistem yang tidak terintegrasi. Kedelapan, ketergantungan pada teknologi ter tentu sehingga dapat menimbulkan risiko jika teknologi tersebut mengalami kegagalan atau kerentanan keamanan. Kesembilan, kesadaran dan pemahaman karyawan tentang pentingnya GRC untuk mengubah budaya perusahaan agar GRC menjadi prioritas.

Pada akhirnya penerapan GRC yang sukses pada industri asuransi memerlukan komitmen tinggi dari perusahaan untuk mematuhi regulasi, mengelola risiko dengan bijak, dan menjaga tata kelola yang kuat. Selain itu, investasi dalam teknologi dan pelatihan karyawan sangat penting untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.

 

Sumber : Koran INVESTOR DAILY  Hari Rabu,Tanggal  13 September 2023